Journey of NaiTsa


_Merah Hati Hijau Dunia_Merah Hati Hijau Dunia_Merah Hati Hijau Dunia_

Ku hempaskan tubuhku ini ke sebuah sofa empuk di sudut kamarku. Tubuhku memang terasa sangat lelah setelah pesta wisudaku. Kupejamkan mataku sejenak, kuraba radio kecil yang berada tak jauh dari sofaku itu. Ketika kutekan tombol play ku dengar lagu favoriteku yang berjudul Ku Ingin Selamanya yang dilantunkan dengan manisnya oleh grup band favoritku, UNGU. Lagu itu pun menimang-nimang aku di sofa yang telah memanjakan aku dari tadi. Pikiranku pun melayang.
Tiba-tiba mataku tertuju pada sebuah album tua yang lama tak kuusik dari tempatnya. Album bersampulkan sampul warna biru dan tertulis tulisan tanganku yang terbaca “KENANGAN INDAHKU”itu pun membuatku ingin membukanya. Masih rapi namun agak usang, aku coba membuka album foto itu. Kulihat foto wajah seseorang nan rupawan terpajang di halaman depan. Ia adalah idolaku dulu yang telah menjadi motivasi bagiku menuntaskan studiku menjadi sarjana ini.  Banyu, begitu aku akrab memanggilnya ketika aku menjadi tetangganya dulu. Ia memang pangeran desa dan sekolah dulu. Pikiranku pun melayang pada kejadian beberapa tahun lalu ketika kulihat foto Banyu bersama keluarganya.
¯¯¯

Sore nan indah berhiaskan mega merah kekuning-kuningan. Kicau burung merdu melayang-layang di angkasa luas mengiringi sang raja siang kembali ke peraduannya. Lukisan alam ufuk barat nan esotik. Nuansa Desa Bana Barat nan elok pun melengkapi indahnya sore itu.
Para penduduk desa yang hilir mudik dari ladang kerja mereka itu meramaikan jalan setapak desa itu. Di beranda rumah kecil mungil di pinggir Desa Bana Barat itu, terlihat sosok pemuda desa nan tampan sedang menikmati lantunan musik syahdu dari band favoritenya. Lagu Luka Disini dengan nada nan lembut itu pun seraya menimang-nimang pemuda desa yang akrab dipanggil Banyu.
Namun mega hitam pekat yang dari tadi bertengger di angkasa timur itu, kini mulai merayap pelan ke langit desa Bana Barat. Seolah-olah diburu ketakutan, semua warga pun mempercepat lajunya untuk segera sampai di rumah masing-masing. Sekejab terwujudlah nuansa sunyi, sepi Desa Bana Barat.
“Banyu! Banyu! Tolong bantu ibu!” teriak ibu Banyu yang memecah kesunyian yang hampir bersamaan dengan terdengarnya petir yang tiba-tiba menyambar dan menghilangkan gelombang radio tua yang kemudian mati mematikan lantunan musik yang dari tadi menimang-nimang Banyu dengan lembutnya.
“Ya, bu! Sang Pangeranmu ini baru berjalan,” jawab Banyu yang memang menjadi pujaan gadis-gadis desa.
“Pangeran!Pangeran! Iya Banyu pangeran kesayangan ibu!”
“Bu, Dik Yulfa mana?” Tanya Banyu mencari adik kesayangannya.
“O…makannya jangan nimang-nimang radio terus! Adikmu baru ke makam ayahmu. Tapi kok belum pulang ya?” jawab Ibu yang sangat tegar karena ia berhasil merawat kedua anaknya sendiri semenjak ayah Banyu meninggal dunia akibat bencana banjir bandang yang sangat besar 2 tahun lalu. Memang bencana banjir telah menjadi langganan Desa Bana Barat.
“Banyu jemput Dik Yulfa dulu ya, Bu!” jawab Banyu sambil segera menyelesaikan tugasnya lalu beranjak menjemput adiknya ke makam ayahnya yang terletak di pinggiran desa
Malam itu begitu mencekam. Petir pun menyambar-nyambar sejak tadi. Titik-titik air sebesar batu kerikil pun berjatuhan sudah berjam-jam yang lalu. Dentingan jam tua pukul 24.00 itu pun menambah keangkeran malam yang tak bercahayakan apapun karena listrik telah dipadamkan PLN untuk mengantisipasi kejadian yang tak diinginkan dan sang dewi malam pun tak menampakkan dirinya. Banyu pun teringat pada malam terakhirnya bersama sang ayah, dimana ia bersama Yulfa merasakan hangatnya pelukan sang ayah untuk menenangkan anak-anaknya yang sedang ketakutan. Nuansa malam yang sama ini pun membuat Yulfa yang masih belum bisa merelakan ayahnya dan masih trauma pada suasana seperti ini pun menangis ketakutan. Seperti menggantikan posisi sang ayah, Banyu yang masih duduk di kelas 11 itu pun memeluk dan menenangkan adiknya dengan penuh kasih sayang.
“Tenang…tenang! Malam ini pasti akan berlalu baik-baik saja!Jangan takut ya!” kata Banyu sambil mengelu-elus dahi adiknya yang masih duduk di bangku kelas 6 Sekolah Dasar.
Malam itu pun membuat Banyu, Yulfa, terutama ibunya tak bisa tidur.
Tiba-tiba terdengar suara, “Tog…tog…tog…,” kentongan desa tanda bahaya. Bersamaan dengan itu, terdengarlah suara jeritan warga desa seperti menyambut kedatangan bintang tamu artis ke desa itu, “Banjir…banjir…banjir.” Hilir pikuk warga pun terjadi. Seperti dikejar bom waktu, semua warga pun bergerak cepat.
Bersamaan dengan suara adzan Subuh, keramaian warga semakin menjadi-jadi karena bendungan desa berhasil dijebol oleh kekuatan air. Seperti melihat kembali kejadian ketika ayahnya dipanggil Illahi. Fajar itu banjir bandang kembali melanda. Bergegaslah semua warga menuju pengungsian. Demikian pula dengan Banyu, Yulfa dan ibunya.   
ยบ+++รœ

Foto-foto banjir Bana Barat itu membuatku meneteskan air mata. Namun Aku yang menjadi tetangga Banyu dan teman akrabnya pun sungguh kagum dengan Banyu yang memang sangat menyayangi adiknya. Kubuka lagi lembaran album berikutnya. Pikiranku kembali melayang.
¯¯¯

Malam yang mencekam telah usai, puluhan korban pun menjadi tumbal ganasnya banjir yang terjadi. Suasana pengungsian pun harus mereka jalani lagi sambil menunggu air bah yang menenggelamkan rumah para warga surut kembali. Tidur beralaskan tikar, beratapkan traktat yang terkadang sudah compang-camping itu pun seakan menjadi hotel tahunan bagi para warga Bana Barat dan sekitarnya. Banyu yang dari tadi membantu ibunya pun merasa bosan lalu berlalu meninggalkan tenda pengungsian.
Sambil memandang desanya yang terbenam air, Banyu pun menerawang ke angkasa melayangkan pikirannya.
“Andai warga desa bisa mengerti lingkung, andai mereka tidak menebang pohon di hutan Bana, pasti ini semua tidak terjadi,” pikir Banyu yang tiba-tiba tersentak oleh kagetan teman-teman akrabnya, Aku, Suep, Tania, dan Triono.
“Hai, Bos ngapain disini?” kata Tania.
“Menelaah nasib!”jawab Banyu.
“Nasib kok ditelaah, nasib itu ya dijalani! Oya, ngomong-ngomong nasib Badrun kasihan, adiknya menjadi korban banjir tahun ini lho, Banyu!” kata Triono bersemangat.
“Innalillahi…iya makannya aku ini baru menelaah nasib. Nasibku dan nasib warga,” jawab Banyu.
“Maksudmu apa? Kok menelaah nasib warga segala…,”sahut Tania.
Banyu pun terdiam sejenak. Dan dengan semangat tiba-tiba, ia berkata,” aku pengen banjir berhenti menjadi langganan desa Bana Barat.”
“Lha, gimana caranya?”tanya Tania yang tiba-tiba membuat sunyi sekumpulan pemuda itu.
“Lihat tuh! Banyak sampah yang hanyut terbawa arus banjir dan itu bisa jadi sarang penyakit. Bukit Bana pun terlihat gundul karena penebangan yang dilakukan secara liar oleh warga tanpa berpikir akibatnya,” kata Banyu sambil menunjuk tempat-tempat yang dimaksud,” Oya, gimana kalau kita menjadi pionir pemuda desa peduli lingkung.”
 “Ooo,…wah seru tuh! Oya, gimana kalau kapan-kapan kita bicarakan lagi?”
“Boleh…boleh…”
“Wah, aku bangga sama kamu Banyu!” ucapku yang membuat Banyu waktu itu tersipu malu.
Kesunyian pun terjadi ketika aku dan para pemuda desa itu membubarkan diri.
ยบ+++รœ

Sinar mentari pun bersinar dengan cerahnya. Menemani indahnya hari itu. Air bah yang menggenangi Desa Bana Barat itu pun mulai surut.
Keesokan harinya, aku dan para pengungsi pun mulai kembali ke rumah masing-masing. Semua warga pun segera mengemasi barang-barangnya dan segera menaiki truk pengangkut untuk kembali ke rumah masing-masing. Begitu pula yang dilakukan oleh Banyu.
Sesampainya di rumah, Banyu, Yulfa, dan ibunya pun mulai membenahi rumah. Mereka pun bekerjasama membersihkan sisa-sisa kotoran air bah yang menggenangi rumah Banyu nan sederhana itu. Tidak hanya itu, dengan peralatan sederhana, mereka membersihkan Lumpur-lumpur yang melapisi lantai rumah mungil itu. Kuamati indahnya kebersamaan kakak-adik itu. Dengan selingan tawa dan canda, kegiatan itu pun menjadi lebih mudah dan cepat.
“Dik, jalan-jalan sebentar yuk!” kata Banyu.
“Jalan-jalan? Ehm,.okey deh!” jawab Yulfa.
“Bu, aku sama dik Yulfa mau jalan-jalan dulu ya?”
“Iya…hati-hati!”
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumussalam.”
Banyu dan Yulfa melangkah menelusuri jalan setapak desa itu sambil melihat para warga yang hampir selesai membersihkan rumahnya.
“Hai, mau kemana Banyu?” tanyaku malu-malu.
“Jalan-jalan!Duluan ya!” seru Banyu.
“Iya.” Selama aku menjadi tetangga baru dan akhirnya menjadi teman akrabnya, aku selalu mengamatinya karena ia merupakan idolaku waktu itu.
Mata Banyu pun menyebar kemana-mana. Sampah-sampah yang hanyut terbawa oleh air bah yang hanya digeletakkan begitu saja itu pun menyita perhatian.
“Andai semua sampah itu bisa diolah dengan baik pasti lingkungan ini terawat dan banjir tak lagi hadir,” gumam Banyu.
Langkah Banyu dan Yulfa terus berjalan. Mereka mengarah ke tepian desa. Langkah mereka pun tersentak melihat tepian desa yang lama tak mereka jamah. Sungai yang tak jernih lagi, hutan bukit desa yang mulai mengundul sangatlah berbeda dengan pemandangan indah yang dulu. Udara yang segar pun tak mereka temukan lagi. Hanya bau air limbah yang busuk yang mereka temukan.
“Kenapa semua jadi begini, Mas?” tanya Yulfa.
“Biasalah Dik, tangan-tangan batil manusia yang tak bertanggungjawab.”
“Andai mereka semua sadar akan lingkungan yang sehat ya Mas?”
“Iya Dik!”
Niat Banyu pun semakin bulat atas keinginannya untuk menyelamatkan lingkungan desanya itu.
¯¯¯

Mentari yang cerah menyinari pagi itu. Aktivitas seperti biasa pun mulai dilakukan. Banyu sudah rapi dengan seragam putih abu-abunya, sedangkan Yulfa sudah rapi dengan seragam putih merahnya. Seperti biasa, Banyu mengantarkan Yulfa terlebih dahulu dengan sepeda tuanya sebelum ia beranjak ke sekolahnya sendiri.
Sesampainya Banyu di pintu gerbang sekolah, aku pun bertemu dengan dia. Wajahnya penuh semangat. Tiba-tiba Tania mengejutkannya dari belakang.
“Woi…Banyu, nanti ada rapat OSIS pulang sekolah di ruang OSIS!” kata Tania.
“Emang rapat apa?”
“Koordinasi kigiatan tahunan OSIS.”
“Okey deh!”
“Ah, aku duluan ya! Nanti aku diserbu cewek sesekolah kalau dekat-dekat kamu, Sang Pangeran Hati!” celoteh Tania, “Ayo, Naima, kita duluan daripada diserbu cewek satu sekolah.”
“Ayo!” Itu memang guyonan yang sering aku lemparkan pada Banyu.
“Wah, bisa saja kamu!” jawab Banyu.
¯¯¯

Kubuka lembar album berikutnya. Aku dulu yang menjadi sie dokumentasi memang sering membawa kamera kemana-mana. Foto-foto dari waktu ke waktu pun aku kumpulkan. Terus kubuka sampai kulihat foto Banyu ketika sedang rapat OSIS dimana aku tambah kagum padanya karena ide cermelang yang terlontar dari mulut manisnya.
¯¯¯

Siang harinya, rapat OSIS pun dimulai. Dengan tenang, semua pun menyikuti rapat itu. Tiba-tiba terlintas ide Banyu untuk mengajukan idenya dalam rapat itu. Ia pun berfikir untuk mulai mengajukan idenya tentang penyelamatan lingkungan Desa Bana itu tapi pikirannya masih melayang dan ragu. Kegalauan pun nampak pada raut wajah Banyu nan rupawan itu.
“Banyu, kenapa kamu? Mau mengajukan sesuatu?” tanya Ivan, selaku pemimpin rapat dan ketua OSIS.
“Ehm,..” kata Banyu meragu. Ia pun melanjutkan kata-katanya,”sebenarnya saya punya suatu ide dan menurut saya ide ini bisa bermanfaat untuk wilayah desa ini.”
“Emangnya bermanfaat untuk apa?” centil Pipit, si Ratu Gosip sekolah.
Peserta rapat kali itu pun menjadi agak ribut.
            “Harap tenang ya! Banyu tolong sampaikan idemu itu!” perintah Ivan dengan tegasnya.
“Baik, saya akan menjelaskannya. Desa ini adalah desa yang berlangganan terkena banjir. Dan kita semua tahu bahwa semua ini adalah ulah para oknum tak bertanggungjawab. Sering kita jumpai sampah-sampah betebaran dimana-mana. Hutan bukit pun kini telah mulai menggundul. Dan sekarang ini pabrik-pabrik di sekitar pula banyak yang tak perduli lingkungan desa lagi. Oleh karena itu, kita sebagai pemuda penerus bangsa hendaknya mulai sadar akan pentingnya lingkungan yang terawat. Maka, saya memiliki gagasan untuk menyadarkan para warga untuk peduli lingkungan. Kita bisa melakukan sosialisasi maupun melakukan reboisasi sebagai kegiatan OSIS tahun ini karena dengan adanya hal ini saya yakin desa ini pasti takkan terjadi banjir lagi. Dan saya rasa cukup. Terima kasih,” jelas Banyu.
“Ide yang bagus, Banyu,”kata Ivan,” lalu teman-teman lain, bagaimana menurut anda gagasan ini?”
“Bagus banget dunk,” kata Tania, Suep, dan Triono secara bersama-sama. Dan disusul oleh teman-teman yang lain.
“Baiklah kalau saya akan bicarakan ini dengan Pembina OSIS. Rapat saya tutup sampai disini.”
¯¯¯

Aku kagum dengan presentasi dadakan yang ia lakukan. Aku pun kagum sekali dan mendukung ide cemerlangnya itu dijadikan kegiatan tahunan OSIS.
 Aku pun teringat bahwa setelah rapat itu aku dan Banyu pulang bersama. Dia telah kuanggap seperti kakakku. Sepanjang perjalanan ia menceritakan banyak hal padaku. Tidak hanya itu bahkan ia menginginkan aku menjadi teman ceritanya. Sungguh membahagiakan waktu itu.
Semenjak itu, Banyu sering bercerita padaku. Kami sering berdua. Ceritanya sungguhlah sangat memberi motivasiku. Aku pun teringat tentang cerita tentang hasil rapat OSIS.
¯¯¯

Keesokan hari setelah rapat OSIS itu, Ivan sang ketua OSIS pun berunding kepada Pembina OSIS. Pembina OSIS sangat merespon baik ide Banyu namun Banyu diharapkn untuk mempresentasikan idenya itu dihadapan para bapak-ibu guru untuk mendapatkan persetujuan.
Banyu pun menceritakan semua dengan aku. Aku yang selama ini tahu keinginan Banyu untuk menjadikan Desa Bana Barat menjadi bebas banjir pun berharap agar usaha Banyu berhasil. Bersama dengan teman-teman Banyu yang lain, aku berusaha membantu Banyu mencari bahan-bahan presentasi yang hanya diberi waktu 1 bulan.
“Eh, di desa ini kan ada perusahaan pengolahan ketela, gimana kalau kamu mengadakan riset di sana?” saranku pada Banyu ketika itu yang tak kusangka menjerumuskan Banyu pada suatu permasalahan yang begitu besar. Sesuatu yang merasa bersalah padanya.
“Wah ide bagus tuh, Banyu! Disana kan kamu bisa mendapat bukti bahwa banyak perusahaan yang beroperasinya tak sejalan dengan analisa dampak lingkungan yang baik!” sahut Tania.
“Baik akan kucoba!” jawab Banyu bersemangat.
¯¯¯

Keesokan harinya, Banyu pergi ke perusahaan pengolahan ketela guna mencari bahan presentasi. Dia berharap semua berjalan dengan lancar. Namun usahanya mengadakan penelitian dilarang oleh perusahaan Jaya Makmur tersebut. Mengetahui tujuan Banyu tersebut, ia diusir oleh petugas keamanan. Ia pun tersungkur ke tanah. Tapi seorang gadis cantik tiba membantunya. Gadis itu adalah Bunga. Ia adalah siswi baru di sekolah Bana Barat. Bunga merupakan gadis cantik putrid pemilik perusahaan Jaya Makmur. Namun Banyu tak tahu itu semua.
“Kamu tak apa-apa kan?”
“Iya tidak apa-apa.” Jawab Banyu sambil menjulurkan tangan dan mengajak Bunga berkenalan.
Mereka pun langsung terlihat akrab. Banyu lalu becerita maksud kedatangannya. Mendengar penjelasan Banyu, Bunga pun berniat membantu Banyu. Bunga memang ingin sekali membangun desa yang sehat. Ia pun tahu mengapa Banyu diusir.
Di dalam hati, Bunga pun berkata, “Andai dia tahu bahwa ayahkulah yang membuat Desa Bana Barat ini kurang sehat karena limbah pabrik. Dan ayahkulah yang menyuruh warga untuk membabat hutan bukit itu untuk bahan baker pabriknya pasti ia akan membenciku.”
“Hai???Jangan ngelamun donk!”usik Banyu yang mulai merasakan jatuh cinta.
“EHm,…Oya aku akan membantumu. Aku pulang dulu ya?”
“iya.”
¯¯¯

Beberapa hari pun berlalu. Banyu menceritakan semua itu cerita indah Banyu bersama Bunga dengan aku. Ia juga mengatakan padaku bahwa ia jatuh cinta pada Bunga. Hatiku pun tersayat-sayat. Bunga yang kini menjadi sahabatku juga membuatku tak bisa mengatakan sebenarnya pada Banyu. Aku tak ingin persahabatanku dengan Banyu dan Bunga rusak. Aku hanya bisa mendengarkan kisah indah mereka.
Di tengah hati yang tersayat-sayat sesungguhnya aku menyimpan rahasia antara aku dan Bunga. Rahasia ini belum bisa kuceritakan.
Hari-hari indah pun kita isi dengan membantu Banyu mencari bahan guna menyakinkan pihak sekolah agar mau membantunya membangun desa sehat dan indah.
¯¯¯

Hari presentasi pun telah tiba. Semua hasil materi yang menunjukan bahwa banjir Desa Bana Barat disebabkan oleh ulah usil manusia dan ditambah hasil penelitiannya yang menyatakan bahwa sebagian perusahaan di Desa Bana tidak sesuai dengan Analisa Dampak Lingkungan itu pun membuat para guru menyetujui usul Banyu untuk memasukan program peduli desa pada program OSIS. Hal ini membuat Banyu bahagia.
Dengan kegigihannya, Banyu pun mengkoordinasi semua siswa untuk membantunya dalam program OSIS peduli desa ini. Susunan kalender acara yang dijalankan selama satu tahun itu langsung disetujui oleh pihak sekolah. Aku kagum dengan semua ini. Tidak hanya itu, ia pun langsung menghubungi dinas kesehatan untuk melakukan program sosialisasi dan dinas perhutanan untuk membantunya dalam pengadaan bibit-bibit untuk reboisasi.
Namun semua hasil usaha itu gagal ketika sosialisasi diadakan. Ketika itu semua warga datang pada sosialisasi namun ditengah-tengah sosialisasi para warga ada yang mengejek dan mengacuhkan usaha itu. Sampai-sampai Banyu dilecehkan oleh para warga.
“Wah, apa-apaan ini, buang-buang waktu!”ucapan itu pun terdengar olehku yang waktu itu juga membantu Banyu. Ucapan itu juga membuat Banyu sakit hati.
Kedua kali ini pula aku melihat Banyu menangis. Aku juga ikut sakit hati melihat itu semua. Apalagi Banyu yang duduk disamping Bunga itu baru ditenangkan oleh Bunga. Kuteringat waktu itu aku hanya bisa menjadi pendengar.
¯¯¯
Keesokan harinya, Banyu dipanggil oleh Kepala Sekolah. Ini adalah suatu hal yang menyakitkan Banyu, aku dan teman-teman lain.
“Banyu, aku mendapat laporan bahwa ketika kamu mempersiapkan materi persiapan kemarin kamu pergi ke perusahaan Jaya Makmur?”Tanya kepala sekolah dengan muka masam yang membuat Bannyu tak bisa berkata apa-apa.
“Iya, Pak!”
“Dan kamu telah membut ulah disana?”
“Tiii…daaak.”
“Sudah! Karena kejadian kemarin saya sudah koordinasi dengan guru-guru dan kami memutuskn untuk tidak melanjutkan ini.”
“Tapi, Pak?”
“Maaf kami telah memutuskan untuk tidak melanjutkan program peduli desa ini.”
Banyu pun keluar dari ruang itu dengan raut muka duka. Bunga,aku dan teman lain lalu menanyainya. Banyu pun menceritakan itu.
“Aku sudah tidak bisa mewujudkan mimpiku untuk membuat Desa ini bebas dari banjir.”
Kata-kata itu adalah kata menyerah pertama kali yang kudengar dari Banyu yang selama ini tak kenal menyerah.
¯¯¯
Tak kusangka banyak sekali ceritaku dulu yang telah kudokumentasikan menjadi jepretan-jepretan penuh makna. Aku tak menyangka itu semua. Lembaran album foto itu pun terus aku buka sambil mengingat-ingat masa lalu itu. Masa lalu barsama Banyu yang membuat aku semangat dalam menyelesaikan sarjanaku. Mataku pun tertuju pada foto Bunga yang terbaling di kasur putih rumah sakit.
¯¯¯
Kejadian Banyu yang menyerah itu membuat Bunga tak tahan dengan ayahnya. Ia tahu bahwa ayahnya melarang Bunga dekat dengan Banyu karena Banyu bisa merusak usaha ayahnya yang selama ini menimbulkan kerusakan Desa Bana Barat. Banyu yang menjadi sedikit pendiam pun membuat Bunga shock. Bunga yang memang sering sakit-sakitan itu pun menjadi kambuh.
Saat itu adalah hari sabtu dimana siswa harus mengikuti kegiatan kerja bakti di lingkungan sekolah.
“Bunga kamu kok pucat?” tanya ku pada Bunga waktu itu.
“Tidak apa-apa kok,” jawabnya sambil melanjutkan menyapu halaman belakang sekolah. Namun di tengah ia menyapu, tiba-tiba ia jatuh pinsang. Seluruh siswa pun panik terutama Banyu. 
Bunga lalu dibawa ke UKS. Karena ia tak kunjung sadar. Pihak sekolah lalu menelepon pihak keluarga lalu membawa Bunga ke rumah sakit. Bunga pun dirawat di rumah sakit.
¯¯¯
Selama 1 bulan Bunga dirawat di rumah sakit. Selama itu pula sifat Banyu berubah 180ยบ karena ia dilarang oleh ayah Bunga untuk menemui Bunga. Aku tak kuasa menahan rahasia antara aku dan Bunga. Hari terakhirku di Desa Bana Barat pun merupakan waktu yang tepat untuk mengungkap ini semua. Aku yang sebelumnya telah melihat kondisi Bunga yang melemah telah berhasil meminta ijin Bunga untuk mengungkap semua rahasia antara aku dan Bunga.
Banyu tak tahu bahwa aku akan pergi ke luar negeri untuk meraih program beasiswa dan menyusul kedua orang tuaku. Satu jam sebelum keberangkatan, aku pun menemui Banyu.
“Banyu, aku ingin bicara sesuatu.”
“Bicara apa?”
“Hari ini adalah hari terakhirku di sini. Aku akan pergi ke Australia untu mendapatkan program beasiswa.”
“Kenapa kamu tidak bicara?”
“Karena sikapmu Banya,.” jawabku,” Aku rindu Banyu yang dulu. Aku ingin bicara sesuatu. Sebenarnya Bunga sangatlah mencintaimu. Ia telah jatuh cinta padamu namun ia menolakmu waktu itu karena ia tak mau kamu tahu bahwa yang menggagalkan usaha mu untuk menjalankan OSIS Peduli lingkungan adalah ayahnya. Dan Sesungguhnya Bunga terkena kanker yang umurnya tak panjang lagi. Ia berkata padaku bahwa ia rindu Banyu yang dulu.”
“Apa?Mengapa kau tak mengatakan itu semua dari dulu?”
“Maaf! Aku telah berjanji pada Bunga. Sekarang temuilah dia. Aku akan pergi.”
¯¯¯
Saat itu adalah saat tersedihku. Aku pun mengantarkan Banyu pergi ke rumah sakit. Disana ia melihat Bunga yang sangat lemah.
“Banyu, maafkan aku!Mungkin aku akan pergi untuk selamanya.”
“Bunga?”
“Mungkin Naima telah mengatakan semua,” jawab Bunga yang tiba-tiba disela oleh ayahnya.
“Maafkan ayah nak! Ayah kini telah sadar! Lakukanlah usahamu selama ini Bunga.”
Perkataan itu membuat raut wajah Bunga kembali bersinar.
“Ayah? Iya, Bunga! Maafkan ayah!” perkataan Bunga pun dilanjutkan,” Baik Banyu jika kamu memang cita padaku, Lakukanlah kembali usaha penyelamatan lingkungan. Aku juga akan pergi melakukan pengobatan dan aku berharap, ketika aku pulang kamu masih mencintaiku.”
“Baiklah. Tapi kamu harus janji mau menerima cintaku nanti Bunga!”
“Baik aku akan berusaha untuk sembuh.”
¯¯¯
Mendengar itu Banyu menjadi bersemangat melakukan usaha penyelamatan lingkungan. Cerita Banyu pun berjalan dengan cepat seiring dengan perpindahanku. Namun aku masih tahu perjuangan Banyu melalui email-email yang sering dikirimkan ke aku.
Banyu bercerita bahwa seiring kepergianku dan Bunga ia merasa kehilangan bagian hidupnya. Namun untuk semua warga dan Bunga, Banyu berusaha kembali membangun desa sehat bebas banjir. Banyu menghubungi kembali dinas-dinas terkait untuk membantunya. Usaha sosialisasi pun dilakukan selama 2 bulan sekali. Reboisasi juga dilakukan. Pengolahan sampah pun menjadi usaha sampingan keluarga Banyu untuk mendapatkan uang tambahan. Tidak hanya teman sekolah, namun warga desa berkat himbauan dari ayah Bunga yang sangat berpengaruh di Desa Bana pun saling bergotong-royong membangun desa yang sehat.
Dua tahun kemudian, aku pun mendapat kabar dari Tania bahwa Desa Bana telah berubah berkat Banyu. Surat Tania yang selalu kuingat.
Dear Naima,
Lama kita tak berjumpa! Banyu telah kembali seperti dulu lho? Kapan kamu kembali ke Bana?Kita semua merindukanmu.
Desa Bana sudah tak seperti dulu. Bebas banjir dan hijau kembali. Bunga juga sudah sembuh dan akan kembali tepat di hari kelulusan SMA kita. Hari itu kan merupakan akhir perjuangan Banyu. Hari terindah kita.
Akan ku kabari lagi. Ini foto-foto indah, kenangan kita semala kau pergi. Simpan ya!
Dariku,
TANIA

Foto-foto manis juga dikirim Banyu untukku. Walau ia anak yatim namun Banyu tetap bersemangat dan berhasil membangun desa. Rasa cintaku pun akan kupendam selalu untuknya.
¯¯¯

Lembaran terakhir dari album itu adalah foto Banyu bersama keluarga, Bunga, teman-teman dan warga desa. Ingatanku pun melayang pada surat yang dikirimkan Banyu untukku.
Di surat itu ia bercerita bahwa ia berhasil meraih penghargaan Kalpataru sebagai penyelamat lingkungan termuda. Ia juga bercerita bahwa Desa Bana Barat tidak mengalami banjir lagi. Pada waktu penyerahan, Bunga pun tiba dengan membawa kabar gembira bahwa ia telah sembuh. Warga desa pun mengangkat Banyu menjadi Pahlawan Desa. Desa Bana Barat kini telah hijau kembali. Dan hati Banyu pun telah merah karena cinta tulus dari Bunga.
¯¯¯

Tak ku sangka hari sudah senja seiring habisnya foto-foto di album kenanganku. Kenangan indah perjuangan seorang lelaki pujaan hati nan rupawan yang memberi inspirasi di skripsiku sehingga aku bisa lulus dan meraih gelar sarjanaku. Aku pun beranjak dari sofa itu dan menyimpan album penuh cerita itu kembali. 

Created by: Naima Untsa (tugas@X-4)

Categories:

2 Responses so far.

  1. Unknown says:

    kondange,,,,, cuit2,,,
    pengalaman ki cah,,,,

  2. Unknown says:

    aduuh,..isin akuu,.. :3

Leave a Reply